Senin, 17 Mei 2010

TEORI KONSTRUKTIVIME

1. Pendahuluan Lahirnya teori pembelajaran konKtruktivisme telah mengubah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Pengajar di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran. Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran saat ini, banyak disebabkan oleh perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karenanya, konsep pembelajaran saat ini pun berubah dari pengajar mengajar menjadi siswa belajar. Belajar bagi manusia bukan sekedar mengingat, tetapi manusia harus benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri dan selalu bergulat dengan ide-ide. Pola pikir yang sentralistik yang berarti pola pikir dari setiap orang berpusat pada satu pemahaman saja, monolitik yang berarti pola pikir yang monoton, dan uniformistik mewarnai pengemasan dunia pendidikan (Degeng, 2005). Pendidikan yang diharapkan dapat mengajarkan bagaimana cara menghargai keragaman justru memberangus keragaman yang ada. Setiap manusia terdidik untuk memiliki pola pikir atau pandangan-pandangan yang sama. Tidak ada kesempatan untuk memberikan pendapat atau pandangan yang berbeda tentang apa yang dirasakan atau dipikirkan dalam proses belajar dan pembelajaran. Pembelajaran sebagai hasil usaha siswa dan pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan siswa sebagai bahan mentah bagi proses perenungan dan pengabstrakan. Setiap siswa, sebenarnya telah mempunyai satu aset ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif. Untuk membina siswa dalam menemukan pengetahuan baru, pengajar sebaiknya memerhatikan struktur kognitif yang ada pada mereka. Pada proses belajar mengajar, pengajar tidak lagi hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi siswa sendiri yang harus membangun pengetahuannya (knowledge is constructed by human). Mengapa? Karena pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap diterima dan diingat siswa. Siswa harus mengonstruksi pengetahuannya sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memunculkan ide-ide baru, memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dalam ide-ide konstruktif, biarkan siswa mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan esensi konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Melihat konsep dasar tersebut, pembelajaran saat ini setidaknya menggeser paradigma dari pembelajaran yang berdasar kacamata pengajar menjadi pembelajaran yang berdasarkan kacamata siswa. Artinya, saat ini bukan bagaimana pengajar mengajar, tetapi bagaimana agar siswa dapat belajar. Pengertian belajar, menurut konstruktivisme, adalah perubahan proses mengonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang dialami siswa sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh sebagai hasil interpretasi pengalaman yang disusun dalam pikirannya. Secara psikologis, tugas dan wewenang pengajar adalah mengetahui karakteristik siswa, memotivasi belajar, menyajikan bahan ajar, memilih metode belajar, dan mengatur kelas. Caranya? Biarkan mereka belajar sebagai proses mengonstruksi pengetahuan dan pengajar sebagai fasilitator dalam menerapkan kondisi yang kolaboratif. Siswa belajar dalam kelompok dan siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri, tetapi belajar pula dari orang lain. 1. Inti dari teori Konstruktivisme “Jika kanak-kanak tidak dapat belajar dengan cara kita mengajar, kita harus mengajar dengan cara mereka belajar�. Pembelajaran secara Konstruktivisme berdasarkan beberapa pandangan baru tentang ilmu pengetahuan dan bagaimana memperoleh ilmu tersebut. Pembentukan pengetahuan baru lahir dari hasil penggabungan pembelajaran terlebih dahulu. Pembelajaran ini mengutamakan siswa memecahkan masalah belajar mereka sendiri dan menguji dengan menggunakan hippotesis hipotesis dan ide-ide baru. 3. Belajar dan Pembelajaran Teori konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah non-obyekif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu (Brooks & Brooks, 1983 dalam Degeng, 1998). Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, sikap dan situasi yang terjadi sejak manusia lahir sampai akhir hayat hidupnya. Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa seorang pengajar tidak selalu memberikan pengetahuan kepada siswanya, tetapi siswalah yang harus aktif dalam membangun pengetahuan dalam setiap pola pikirnya sendiri. Premisnya adalah setiap individu harus secara aktif “membangun� atau menumbuhkan pengetahuan dan ketrampilannya serta informasi yang ada atau diperoleh dalam proses belajar mengajar (Brunner, 1990). Sedangkan di sisi lain dari teori konstruktivisme, belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas, kolaboratif, refleksi dan interpretasi (Brooks & Brooks, 1993; Dede, 1996). Konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia dalam membangun dan menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberikan makna pada pengetahuan berdasarkan pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri masih bersifat tafsiran dan bersifat tidak menentu, oleh karena itu, pemahaman yang diperoleh manusia senantiasa masih bersifat sementara dan tidak lengkap. Itu semua akan semakin kuat dan mendalam apabila telah diuji berdasarkan pengalaman–pengalaman baru yang ada di dalam proses belajar dan pembelajaran (Nurhadi, 2004). Secara filosofis, belajar menurut teori konstruktivisme adalah membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang tak terbatas dan tidak sia-sia. Oleh karena itu, manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata yang terukur atau teruji. Mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini, maka siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Dimana dalam proses belajar dan pembelajaran didalam kelas, siswa harus dibiasakan untuk memecahkan masalah belajar secara mandiri untuk menemukan sesuatu yang berguna dalam dirinya dan begelut dengan ide-ide karena esensi dari teori konstruktivisme adalah ide yang mana siswa, secara individu, harus menemukan dan mentranformasikan informasi secara kompleks jika mereka membuatnya sendiri (Brooks & Brooks, 1993; Brown, Collins, & Duguid, 1989; Leindhardt, 1993; Steffe & Gale, 1995). Apabila siswa telah mampu menemukan informasi dan mampu menyampaikan informasi kompleks ke situasi lain, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi,� bukan “menerima� pengetahuan. Teori konstruktivisme juga menganggap mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasikan peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga menjadi makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik. Oleh karena itu, proses belajar dan pembelajaran yang terjadi di lingkungan pendidikan menuntut setiap siswa harus terlibat secara aktif dan menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas (Slavin, 2000:256). Disini pendidik dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajarkan cara-cara dalam membuat informasi yang bermakna dan relevan kepada siswa, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, dan dengan sadar mengajarkan siswa untuk sadar menggunakan strategi belajar mereka sendiri. Sehingga dapat disimpulkan pandangan singkat konstruktivisme tentang belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut:  Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.  Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan.  Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.  Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik. 4. Tujuan Pembelajaran Aliran konstruktivisme lebih banyak menekankan tujuan pembelajaran pada belajar bagaimana belajar, dalam hal menciptakan pemahaman baru, yang menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata, yang mendorong seseorang untuk berpikir dan mendemonstrasikan apa yang telah atau sedang ia pelajari (Brooks & Brooks, 1993; Marzano, Pickering, & Mc Tighe, 1993). Dengan demikian, siswa diharapkan untuk dapat membangun atau menemukan ide-ide baru serta harus aktif dan kreatif dalam proses belajar dan pembelajaran secara konteks nyata. Hal tersebut tentunya akan membantu setiap siswa menjadi terdorong untuk mau berpikir dan mendemonstrasikan hasil pelajaran yang didapatnya di dalam proses belajar dan pembelajaran tersebut. Dengan demikian, tujuan pembelajarannya tidak bersifat penambahan pengetahuan sehingga belajar harus dilihat sebagai suatu aktifitas “mimetic,� yang menuntut seseorang yang melakukan proses belajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes (Brooks & Brooks, 1993 dalam Degeng, 1998). Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn) 5. Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran adalah spesifikasi untuk menyeleksi serta menpengajartkan peristiwa belajar atau kegiatan pembelajaran dalam suatu kegiatan. Pada dimensi konstruktivisme, pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan dari seseorang yang mendapat perlakuan di kelas atau siswa sehingga aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada ketrampilan berpikir kritis, seperti: analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan menghipotesis. Oleh karena itu, pembelajaran konstruktivisme lebih menekankan pada proses, bukan mengikuti urutan secara ketat yang menyebabkan aktifitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks yang akhirnya lebih menekankan pada hasil. Pandangan teori konstruktivisme dalam strategi pembelajaran adalah penyajian isi yang menekankan pada penggunaan pengetahuan berdasarkan pengalaman dan kenyataan-kenyataan terkini secara bermakna, dan harus mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian. Di bawah ini adalah pandangan singkat konstruktivisme tentang strategi pembelajaran:  Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.  Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.  Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan menekankan pada ketrampilan berpikir kritis.  Pembelajaran menekankan pada proses. 6. Penataan Lingkungan Belajar dan Pembelajaran Lingkungan belajar, bagaimanapun penetapannya, haruslah dimaksudkan agar si belajar atau si siswa mudah, nikmat, dan nyaman belajar (Wilson, 1996; Gagne, 1985; Lebow, 1993). Pandangan teori konstruktivisme tentang penataan lingkungan belajar berangkat dari pengakuan bahwa orang yang belajar harus bebas karena hanya di alam yang penuh dengan kebebasan si belajar atau si siswa dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil interpretasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dalam dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat dari teori konstruktivisme sebagai interpretasi berbeda yang patut dihargai. Itulah sebabnya teori konstruktivisme memandang bahwa penentu keberhasilan belajar adalah kebebasan. Dalam hal ini si belajar atau si siswa adalah subjek yang belajar (Edelson, Pea, & Gomez, 1996; Duffy & Jonassen, 1992; Jonassen, Myers, & McKillop, 1996). Si belajar sebagai subjek yang belajar harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam proses belajar; disini si belajar atau para siswa juga memegang kontrol proses belajar. Hal ini berbeda dengan teori behavioristik dimana ketaatan pada aturan sebagai penentu keberhasilan belajar si siswa atau si belajar tersebut. Dalam teori behavioristik, si belajar berperan sebagai objek yang harus diperlakukan sesuai dengan aturan sehingga kontrol belajar dipegang oleh si pendidik tersebut, atau kontrol belajar di pegang oleh sistem yang berada di luar diri si belajar. Penataan lingkungan belajar sangat diperlukan agar si belajar atau si siswa mampu melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang memberi kebebasan kepada si belajar atau si siswa untuk melakukan pilihan-pilihan akan mendorong si belajar atau si siswa untuk terlibat langsung secara fisik, emosional, dan mental dalam proses belajar sehingga dapat memunculkan kegiatan yang kreatif-produktif. Peter Kline, dalam bukunya yang berjudul The Everyday Genius, menyatakan bahwa “belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan.� Oleh karena itu, si belajar atau si siswa perlu diberi kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan sesuai dengan kemampuannya. “Karena otak tak bisa memperhatikan semua hal...pelajaran yang tak menarik, membosankan, atau tidak menggugah emosi, pastilah tidak akan diingat� (Ellison dalam Dryden & Vos, 1999:304). Banyaknya aturan belajar yang seringkali dibuat oleh pengajar dan harus ditaati oleh anak akan menyebabkan rasa takut dan bersalah. Lebih jauh lagi, hal tersebut telah membuat anak-anak kehilangan kebebasan berbuat dan melakukan pengontrolan diri, padahal kontrol diri merupakan modal awal penumbuhan penghargaan dan keragaman. Di bawah ini adalah pandangan singkat teori konstruktivisme tentang penataan lingkungan belajar dan pembelajaran:  Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan.  Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.  Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.  Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar.  Kontrol belajar di pegang oleh si belajar. Disamping “kebebasan,� hal penting lain yang perlu dimunculkan dalam lingkungan belajar untuk menumbuhkan the will to learn adalah realness; sadar bahwa anak mempunyai kekuatan disamping kelemahan, mempunyai keberanian disamping rasa takut dan rasa cemas, bisa marah disamping juga bisa gembira. Realness bukan hanya dimiliki oleh anak, tetapi juga oleh semua orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. Lingkungan belajar yang bebas dan yang disadari oleh realness dari semua pihak yang terlibat akan dapat menumbuhkan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar. Belajar akan dilihat sebagai suatu aktivitas yang menyenangkan dan menggairahkan. Oleh sebab itu, pengajar diharapkan dapat membimbing anak dalam mengembangkan sikap dan persepsi yang positif agar ia betah dan memperoleh kenikmatan dalam belajar. “Aset paling berharga (dalam belajar) yang anda miliki adalah sikap positif� (Bobbi DePorter, Quantum Learning). Atas dasar ini, upaya pendahuluan yang harus dikerjakan oleh pengajar agar pembelajaran dapat menjadi lebih efektif adalah mengembangkan sikap dan persepsi yang positif tentang belajar. Kebebasan, realness, dan sikap serta persepsi yang positif terhadap belajar menjadi modal dasar untuk memunculkan prakarsa belajar. Tanpa sikap dan persepsi yang positif, belajar mungkin tidak akan pernah terjadi. Tanpa realness, perlakuan-perlakuan pengajar terhadap anak tidak menimbulkan rasa aman. Begitupun juga tanpa kebebasan, anak tidak akan dapat belajar dengan caranya yang terbaik. Unsur-unsur inilah yang perlu ditonjolkan dalam penataan lingkungan belajar yang berdimensi konstruktivisme. Disamping untuk menumbuhkan prakarsa belajar, penataan lingkungan yang memberi kebebasan untuk berbuat dan melakukan pilihan juga sangat penting untuk mengembangkan kemampuan mental produktif pada anak. Kemampuan mental yang produktif dapat terbentuk secara optimal hanya apabila anak mendapat kebebasan yang cukup untuk bertindak secara mandiri tanpa dikekang oleh aturan-aturan yang tak ada kaitannya dengan belajar. Jadi, sangat perlu adanya pembaharuan paradigma pembelajaran dari keteraturan atau yang bersifat behavioristik menuju ketidakteraturan atau konstruktivisme didalam penataan lingkungan belajar dan pembelajaran yang kaya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa lingkungan belajar yang kaya adalah lingkungan belajar yang memberikan pilihan-pilihan belajar sehingga aktivitas belajar dan pembelajaran menjadi bebas, santai, menyenangkan, menggairahkan, penuh ketakjuban. Beberapa hal yang perlu dirancang terkait dengan lingkungan belajar yang kaya bagi anak-anak: 1. Menyediakan pilihan tugas. Seorang pengajar yang baik akan menyediakan pilihan-pilihan tugas sehingga setiap anak dapat memilih pilihan tugas mana yang paling sesuai dengan kemampuan dan gaya belajarnya. Pilihan belajar yang monoton akan mematikan daya kreatifitas anak sehingga mereka tidak akan dapat berpikir secara kritis. Seorang anak akan belajar lebih baik apabila dihadapkan pada masalah yang disukainya. Mereka akan lebih bersemangat dalam belajar sehingga akan muncul lingkungan belajar yang menggairahkan. 2. Menyediakan pilihan cara memperlihatkan keberhasilan. Apapun cara yang dipakai oleh anak dalam belajar, hargailah itu. Setiap pengajar harus menyadari bahwa setiap anak memiliki keunikannya masing-masing dan dengan keunikan itulah mereka akan menunjukkan keberhasilan. Luapan-luapan pikiran dan aktivitas yang beragam akan mendorong timbulnya pembentukan makna baru yang mengarah pada perkembangan daya berpikir divergent. 3. Menyediakan waktu yang cukup memikirkan dan mengerjakan tugas. Indikator belajar sukses adalah anak sejahtera. Belajar akan dikatakan berhasil apabila anak merasakan damai sejahtera. Tenggat waktu yang sering diberikan oleh pengajar terkadang membuat anak merasa tertekan sehingga mereka tidak memiliki cukup waktu untuk memikirkan dan mengerjakan tugas-tugas dengan cara mereka yang terbaik. 4. Jangan terlalu banyak menggunakan tes yang telah ditetapkan waktunya. Terkadang seorang pengajar lebih suka menggunakan berbagai macam tes yang telah ditetapkan waktunya untuk mengetahui kemampuan siswanya. Tanpa disadari, tes-tes yang telah ditetapkan waktunya itu secara psikologis cenderung membuat anak merasa bahwa belajar hanyalah sebuah beban yang harus dipikul. Pandangan bahwa belajar adalah sesuatu yang menyenangkan mendadak sirna. Belajar layaknya deretan beban yang terstruktur rapi. Oleh karena itu, janganlah terlalu banyak menggunakan tes yang telah ditetapkan waktunya. Biarkan anak menikmati dunia belajarnya dan gunakan setiap moment dalam proses belajar sebagai sebuah evaluasi belajar. Dengan demikian, akan tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan. 5. Menyediakan kesempatan berpikir ulang. Kesempatan berpikir ulang sangat diperlukan bagi setiap anak yang belajar karena ketika berpikir ulang itulah anak dapat melakukan pembaharuan makna terhadap pengetahuan yang dipelajarinya. Minimnya kesempatan berpikir ulang membuat anak kurang dapat berkembang. Mereka tidak memiliki waktu cukup untuk belajar berpikir kritis dan divergent. Kemungkinan munculnya cara pandang baru terhadap pemecahan suatu masalah menjadi kurang tergali. Namun ketika mereka diberi kesempatan berpikir ulang, maka mereka akan menyadari informasi-informasi sebelumnya yang mungkin terlewatkan sebenarnya adalah hal-hal penting sehingga mereka akan merasakan ketakjuban. Ketakjuban akan penemuan-penemuan baru yang ternyata merupakan kunci tentang pengetahuan yang sedang mereka pelajari. Oleh karena itu, kegagalan merupakan kunci keberhasilan bagi setiap anak. 6. Melibatkan pengalaman konkrit. Pengalaman sebelumnya yang dimiliki tiap-tiap anak akan menuntun mereka dalam memaknai sebuah informasi baru. Cara pandang mereka terhadap suatu hal tergantung banyak sedikit pengalaman yang dimiliki tentang hal tersebut. Pada tingkat inilah pengajar dapat menggunakan informasi pada situasi baru. Apa yang telah dipelajari oleh anak, itulah yang diterapkan dalam konteks nyata sehingga tiap anak dapat memahami dan membangun makna yang benar tentang suatu hal. Ketika ke-enam hal diatas dapat terlaksana, maka lingkungan belajar yang kaya akan terwujud. Tidak akan ada lagi lingkungan belajar yang monoton dan kaku, sebagai gantinya, akan muncul lingkungan belajar yang menyenangkan dan luwes. Dengan demikianlah setiap anak akan berkata, “aku cinta belajar.� 7. Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Prinsip-Prinsip Konstruktivisme a. Discovery Learning Salah satu pembelajaran kognitif yang paling berpengaruh adalah discovery learning yang diterapkan oleh Jerome Bruner (Slavin, 1994), yaitu mendorong siswa untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Keuntungan dalam pembelajaran discovery learning adalah, siswa memiliki motivasi untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai menemukan sendiri jawaban-jawaban atas problem-problem yang mereka hadapi, selain itu mereka juga belajar untuk dapat mandiri dan berpikir kritis. b. Reception Learning David Ausabel (Slavin, 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Ia berargumen bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan, dan beberapa siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan di sekolah. Dalam teori reseption learning, pengajar memiliki tugas untuk menyusun situasi pembelajaran, memilih materi yang sesuai bagi siswa, kemudian memperesentasikan dengan baik isi pelajaran yang dimulai dari umum ke spesifik. Inti pendekatan reseption learning adalah expository teaching. Tiga tahap pengajaran ekspository: advance organizer, menyampaikan tugas-tugas belajar, dan penguatan organisasi kognitif. c. Assisted Learning Assisted Learning mempunyai peran sangat penting bagi perkembangan kognitif individu. Model pembelajaran ini percaya bahwa seorang anak “tidak sendirian� dalam menemukan dunianya sebagai bagian proses perkembangan kognitifnya. Dalam belajar dengan bantuan atau perantara ini, pengajar adalah seorang agen budaya yang dengan bimbingan dan pengajarannya siswa dapat menginternalisasi dan menguasai keterampilan yang membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Scaffolding, secara teknis, dalam belajar adalah membantu siswa pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan keterampilan dan secara perlahan-lahan, bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar sendiri serta dapat menemukan pemecahan bagi poblem atau tugas-tugas yang dihadapinya. d. Active Learning Model pembelajaran Active Learning atau pembelajaran aktif ini percaya bahwa cara untuk menguasai pelajaran yang terbaik adalah dengan mengajarkan. Menurut Silberman (1996), cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkannya. e. The Accelerated Learning Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Dave Meier menyarankan kepada pengajar agar menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual dan Intellectual (SAVI) dalam pengelolaan kelas. Somatic adalah learning by moving and doing. Auditory adalah learning by talking and hearing. Visual adalah learning by observing and picturing. Intellectual adalah learning by problem solving and reflecting. f. Quantum Learning Quantum Learning adalah cara penggubahan macam-macam interaksi, hubungan, dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar (DePorter & Hernacki, 2007). Konsep dasar dari metode ini adalah bahwa belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk informasi baru akan lebih lebar dan terekam dengan baik. Quantum Learning bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Dengan demikian, pembelajaran merupakan kegiatan full-contact yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa depan. g. Contextual Teaching and Learning (CTL) Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu pengajar mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tujuh komponen utaman dalam pendekatan kontekstual: contructivism (konstruktivisme), inquiri (menemukan), questioning (bertanya), learning community (masyarakat belajar), modelling (pemodelan), reflection (refleksi), authentic assesment (penilaian yang sebenarnya). 8. Penutup Suatu pengetahuan akan tersusun atau terbangun di dalam pikiran siswa ketika ia berusaha untuk mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada pengetahuan yang sudah ia miliki. Oleh karena itu, suatu pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari otak seorang guru dengan begitu saja ke dalam otak siswa. Untuk itu, para siswa harus termotivasi untuk mau belajar dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, kesalahan yang sering dilakukan para siswa harus diperbaiki sejak dini karena tindakan pencegahan akan jauh lebih berhasil daripada tindakan penyembuhan. Sebagai tambahan, proses pembelajaran harus dimulai dari pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran siswa (sudah ada kerangka kognitifnya) ataupun mudah ditangkap siswa (sudah dibangun kerangka kognitifnya). Daftar Rujukan Baharudin, A. & Wahyuni Nur, Esa. 2007. Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Degeng, Nyoman. 1998. Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan Menuju Kesemrawutan. Makalah disajikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP MALANG. Degeng S. Nyoman. 2006. Teori Pembelajaran 2: Terapan. Program Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kanjuruhan. Degeng, Nyoman. 2005. Paradigma Membangun Kewibawaan Guru dalam Pengembangan Profesi di Era Global. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Universitas PGRI Adibuana, Madiun, 10 September 2005. DePorter, Bobby & Hernacki, Mike. 2007. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa. Dryden, G. & Vos J. 1999. Revolusi Cara Belajar: Belajar Akan Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan “Fun� Bagian II: Sekolah Masa Depan. Word++ Translation Service (Ahmad Baiquni). 2000. Bandung: Kaifa. Slavin, Robert. E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice (6th ed.). Johns Hopkins University: Allyn & Bacon.

SUMBER:
Punaji Setyosari
http://tep.ac.id/berita-108-teori-konstruktivime.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar